Rencana ISIS Untuk Bunuh Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa. Suriah baru saja menggagalkan dua rencana pembunuhan berencana matang dari kelompok ISIS terhadap Presiden Ahmed al-Sharaa, pemimpin baru yang sedang berjuang stabilkan negara pasca-rezim Assad. Pengungkapan ini muncul pada 10 November 2025, saat al-Sharaa berada di Amerika Serikat untuk pertemuan penting dengan Presiden Trump. Dua plot itu, yang melibatkan serangan bom dan penembakan, berhasil digagalkan oleh intelijen Suriah dengan bantuan sekutu regional, menyelamatkan nyawa pemimpin yang dulunya dikenal sebagai Abu Mohammad al-Julani. Di tengah transisi politik yang rapuh, ancaman ini bukan kebetulan—ISIS lihat al-Sharaa sebagai pengkhianat yang kini lawan mereka habis-habisan. Kini, dengan sanksi terorisme AS terhadapnya dicabut, al-Sharaa hadapi ujian terberat: bukan hanya bangun negara, tapi juga bertahan hidup. Apa yang sebenarnya direncanakan ISIS, dan bagaimana ini ubah dinamika keamanan Suriah? REVIEW KOMIK
Penangkapan Dua Plot Pembunuhan yang Berbeda: Rencana ISIS Untuk Bunuh Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa
Intelijen Suriah berhasil identifikasi dan hentikan dua rencana ISIS yang terpisah, keduanya targetkan al-Sharaa di momen-momen krusial. Plot pertama fokus pada acara resmi yang sudah diumumkan sebelumnya, di mana ISIS rencanakan bom kendaraan meledak saat rombongan presiden lewat. Sel-sel militan, yang terdiri dari lima orang termasuk warga asing, sudah posisikan bahan peledak di pinggiran Damaskus, tapi ditangkap saat latihan akhir. Plot kedua lebih sederhana tapi mematikan: penembakan sniper dari gedung tinggi selama kunjungan al-Sharaa ke wilayah timur yang baru dikuasai pemerintah.
Kedua rencana ini digagalkan dalam waktu seminggu terakhir, berkat tip dari informan di jaringan ISIS yang masih aktif di gurun Deir ez-Zor. Pejabat Suriah sebut operasi ini libatkan 50 agen, dengan koordinasi ketat untuk hindari bocor. ISIS, yang sudah lemah sejak kekalahan di Raqqa 2017, kini gunakan taktik gerilya untuk balas dendam. Mereka rekrut mantan pejuang yang kecewa dengan al-Sharaa, yang dulu sekutu al-Qaeda tapi kini janji lawan ekstremisme. Penangkapan ini tak hanya selamatkan presiden, tapi juga ungkap jaringan seluas 20 orang, termasuk logistik dari Irak. Bagi al-Sharaa, yang baru ambil alih Desember lalu, ini pengingat bahwa kekuasaan baru sering lahir dari darah—dan darahnya sendiri bisa jadi target berikutnya.
Latar Belakang Al-Sharaa dan Permusuhan Lama dengan ISIS: Rencana ISIS Untuk Bunuh Presiden Suriah Ahmed al-Sharaa
Ahmed al-Sharaa bukan pemimpin biasa; perjalanannya dari jihadist ke presiden sementara penuh liku yang bikin ISIS geram. Lahir di Damaskus tahun 1982, ia gabung al-Qaeda di Irak awal 2000-an, lalu pimpin cabang Suriah sebagai al-Julani. Tapi pada 2016, ia putus hubungan dengan ISIS setelah bentrokan ideologi—ISIS lihat HTS-nya sebagai saingan, bukan saudara. Saat Assad jatuh akhir 2024, al-Sharaa ambil kendali dengan janji reformasi: akhiri perang saudara, bangun ekonomi, dan lawan sisa-sisa ISIS. Kini, sebagai presiden, ia pimpin koalisi anti-teror yang gabungkan milisi lama dan pasukan reguler.
Permusuhan dengan ISIS tak baru. Sejak 2013, kedua kelompok bentrok di perbatasan, dengan ribuan korban. ISIS tuduh al-Sharaa “pengkhianat Barat” karena ia buka dialog dengan AS dan Turki, bahkan izinkan pasukan koalisi anti-ISIS operasi di wilayahnya. Di 2025, dengan kekalahan ISIS di Mosul dan Baghuz, mereka balik ke strategi pembunuhan targeted—mirip rencana gagal terhadap Jenderal Soleimani 2019. Al-Sharaa, yang ganti nama asli untuk simbol reinvensi, lihat ancaman ini sebagai ujian legitimasi. Ia sebut ISIS “penyakit lama yang harus dibasmi”, dan plot ini konfirmasi bahwa musuhnya tak rela lihat Suriah stabil di tangan “mantan saudara”.
Respons Keamanan Suriah dan Dampak Regional
Gagalkan plot ini langsung picu gelombang respons keamanan di Suriah. Pemerintah tingkatkan patroli di Damaskus dan Aleppo, dengan checkpoint baru dan drone pengawas 24 jam. Al-Sharaa perintahkan audit intelijen nasional, rekrut 500 agen baru dari mantan pejuang HTS yang setia. Di sisi militer, ia koordinasi dengan Rusia dan Iran untuk bagikan info intelijen, meski hubungan tegang pasca-Assad. AS, yang cabut sanksi terorisme terhadap al-Sharaa minggu lalu, janjikan bantuan teknologi pengawasan—sebuah tanda bahwa Washington lihat dia sebagai mitra anti-ISIS, bukan musuh lagi.
Secara regional, ini guncang keseimbangan. Turki, sekutu HTS lama, tambah pasukan di perbatasan utara untuk blokir infiltrasi ISIS. Irak, yang hadapi serangan serupa, bagikan data soal sel lintas batas. Tapi ada risiko balik: ISIS bisa eskalasi dengan serangan massal di kamp pengungsi Idlib, di mana 2 juta orang rentan. Bagi al-Sharaa, yang sedang di AS untuk bicara ekonomi, ancaman ini jadi kartu diplomatik—ia pamer kemampuan gagalkan plot untuk dapat dukungan lebih. Analis bilang ini bisa perkuat posisinya di dalam negeri, tapi juga picu paranoia di kalangan elite yang takut jadi target berikutnya. Di akhir, Suriah yang baru lahir ini butuh lebih dari intelijen; ia butuh perdamaian yang tulus untuk matikan akar ekstremisme.
Kesimpulan
Rencana ISIS untuk bunuh Ahmed al-Sharaa adalah serangan langsung terhadap harapan Suriah yang baru—sebuah negara yang coba bangkit dari abu perang saudara. Dengan dua plot digagalkan, al-Sharaa bukti ketangguhannya, tapi ancaman ini ingatkan bahwa masa lalu jihadistnya masih bayang-bayangi masa depan. Respons keamanan yang cepat dan dukungan internasional bisa jadi perisai kuat, tapi akar masalah ISIS butuh diobati dengan reformasi sosial dan ekonomi. Bagi al-Sharaa, ini bukan akhir ancaman, tapi awal perjuangan panjang untuk legitimasi. Suriah, di ambang 2026, pantas dapat pemimpin yang selamat—bukan karena keberuntungan, tapi karena persatuan. Saat plot-plot ini terungkap, satu hal jelas: perdamaian tak datang murah, tapi ia layak diperjuangkan dengan segala cara.