Bencana Kekeringan Terjadi di Iran Secara Perlahan. Pada 13 November 2025, Iran menghadapi bencana kekeringan yang merayap pelan tapi pasti, mengancam kehidupan sehari-hari jutaan warga. Reservoir air di Tehran, ibu kota dengan 9 juta penduduk, kini berada di level terendah dalam dekade terakhir, memaksa pemerintah memulai rasionalisasi air ketat. Enam tahun kekeringan berturut-turut telah mengubah sungai menjadi genangan lumpur dan danau menjadi hamparan retak, sementara prakiraan cuaca menjanjikan nol tetesan hujan dalam sepuluh hari ke depan. Presiden Masoud Pezeshkian bahkan memperingatkan kemungkinan evakuasi parsial Tehran jika situasi memburuk. Di balik angka-angka mengerikan ini, cerita manusiawi tentang keluarga yang berjuang untuk air minum menjadi sorotan, mengingatkan bahwa krisis ini bukan sekadar cuaca buruk, tapi kegagalan sistemik yang perlahan menghancurkan negara. MAKNA LAGU
Latar Belakang Krisis Air yang Berkepanjangan: Bencana Kekeringan Terjadi di Iran Secara Perlahan
Kekeringan di Iran bukan kejutan mendadak, melainkan akumulasi lambat dari faktor alam dan manusia. Sejak 2019, curah hujan tahunan turun hingga 40 persen di bawah rata-rata, akibat perubahan iklim global yang membuat musim kering semakin panjang. Danau Urmia di barat laut, yang pernah jadi salah satu danau garam terbesar dunia, kini menyusut 90 persen luasnya, meninggalkan badai debu beracun yang menyengat paru-paru warga sekitar. Gambar satelit terbaru menunjukkan reservoir kunci seperti Karkheh dan Karun hampir kering, dengan level air nasional hanya 30 persen dari kapasitas normal.
Manajemen air yang buruk memperparah semuanya. Proyek irigasi besar-besaran untuk pertanian—yang menyedot 90 persen pasokan air—telah menguras akuifer bawah tanah, menyebabkan tanah amblas hingga 20 sentimeter per tahun di beberapa daerah. Sanksi internasional membatasi impor teknologi desalinasi, sementara korupsi dalam distribusi air membuat proyek bendungan mangkrak. Ahli lingkungan memperingatkan bahwa tanpa intervensi, 80 persen wilayah Iran bisa jadi tidak layak huni dalam dua dekade. Krisis ini mirip “bencana lambat” di negara kering lain, di mana gejala muncul bertahap: panen gagal, migrasi paksa, dan ketegangan sosial yang mendidih pelan.
Dampak Sosial dan Ekonomi yang Menghantam: Bencana Kekeringan Terjadi di Iran Secara Perlahan
Di lapangan, kekeringan ini menyentuh setiap sudut kehidupan. Di Tehran, keran di rumah-rumah kumuh pinggiran kota sering mengeluarkan udara panas daripada air, memaksa warga antre berjam-jam di truk tangki yang langka. Konsumsi air harian melebihi 130 liter per orang—jauh di atas standar 100 liter—sehingga pasokan cepat habis. Di Mashhad, kota suci kedua terbesar dengan 3 juta jiwa, bendungan pemasok air tinggal di bawah 3 persen, memicu pemadaman listrik dari pembangkit hidro yang kering. Petani di Khuzestan selatan, pusat padi Iran, kehilangan 70 persen panen tahun ini, mendorong harga beras naik 50 persen dan memicu protes sporadis.
Ekonomi nasional terpukul keras: sektor pertanian, yang menyumbang 15 persen PDB, menyusut 20 persen, sementara pariwisata di daerah kering seperti Isfahan merosot karena air kolam ikonik menguap. Ribuan keluarga petani migrasi ke kota, membebani infrastruktur urban yang sudah tegang. Kesehatan pun terancam; wabah penyakit air-borne seperti kolera naik 30 persen, terutama di kamp pengungsi pedesaan. Anak-anak di sekolah desa sering absen karena tugas mengangkut air, memperlebar kesenjangan pendidikan. Cerita seperti Fatima, seorang ibu di Yazd yang berjalan 5 kilometer setiap pagi untuk ember air, menggambarkan realitas pahit: kekeringan ini bukan hanya soal tanah kering, tapi mimpi yang layu pelan.
Respons Pemerintah dan Hambatan ke Depan
Pemerintah Iran bergerak cepat tapi terbatas. Di Tehran, otoritas air mengumumkan rasionalisasi: pemadaman air bergilir enam jam sehari, larangan cuci mobil, dan kampanye hemat melalui masjid. Presiden Pezeshkian memimpin doa hujan massal di Tehran pada akhir pekan, diikuti jutaan warga yang berharap mukjizat. Proyek darurat termasuk impor 100 ribu ton air kemasan dari Turki dan percepatan desalinasi di Teluk Persia, meski biayanya membengkak akibat inflasi 40 persen. Di tingkat nasional, rencana “Air untuk Semua” menargetkan pengurangan pemborosan irigasi 25 persen melalui sensor pintar, tapi implementasi lambat karena kurangnya dana.
Tantangan utama adalah politik dan sumber daya. Kritik dari aktivis lingkungan menyoroti mismanagement: bendungan baru sering prioritaskan militer daripada sipil, sementara korupsi alirkan dana ke proyek hantu. Sanksi Barat menghalangi akses ke pinjaman hijau internasional, memaksa Iran bergantung pada bantuan dari China dan Rusia yang terbatas. Beberapa provinsi seperti Sistan-Baluchistan meminta otonomi air lebih besar, menambah ketegangan etnis. Meski ada kemajuan seperti reboisasi 1 juta pohon di utara, para ahli bilang butuh reformasi radikal: kurangi subsidi bahan bakar untuk hemat energi, dan diplomasi untuk cabut sanksi. Tanpa itu, kekeringan ini bisa picu instabilitas lebih dalam, seperti protes air 2021 yang hampir runtuhkan rezim.
Kesimpulan
Kekeringan yang merayap pelan di Iran adalah peringatan keras bagi dunia: bencana iklim tak selalu datang dengan badai, tapi dengan keheningan sungai yang kering. Dengan Tehran di ambang krisis dan Mashhad hampir kehabisan air, pemerintah punya jendela sempit untuk bertindak—dari rasionalisasi ketat hingga reformasi manajemen yang jujur. Bagi warga seperti petani Khuzestan atau ibu di Tehran, ini soal bertahan hari ini sambil berharap esok lebih basah. Jika Iran bisa ubah momentum ini menjadi kesempatan hijau, ia bisa jadi model ketahanan. Tapi biarkan berlarut, dan “bencana lambat” ini akan percepat kehancuran yang tak terelakkan. Di tengah doa dan diplomasi, harapan tetap ada: hujan bisa datang, asal manusia tak menunggu saja.