Apakah Gencatan Senjata Pengaruhi Kasus Kejahatan di Gaza? Gencatan senjata Gaza yang dimulai Januari 2025 awalnya beri harapan damai, tapi kini jadi sorotan karena lonjakan kekerasan internal yang bikin situasi kian rumit. Pada 16 Oktober 2025, laporan PBB ungkap setidaknya 33 warga Gaza tewas dalam crackdown Hamas terhadap rival dan diduga penjahat sejak kesepakatan itu berlaku. Tuduhan pelanggaran saling lempar antara Israel dan Hamas makin memanaskan, tapi dampaknya tak cuma militer—kejahatan seperti eksekusi publik dan bentrokan faksi naik tajam. Di tengah proses tukar jenazah sandera yang mandek, pertanyaan besar muncul: apakah gencatan senjata justru picu kejahatan lebih banyak di Gaza? Dengan korban sipil naik 20 persen sejak Maret, situasi ini jadi ujian kredibilitas kesepakatan. Dari kekerasan Hamas hingga dampak sosial, mari kita lihat bagaimana damai sementara ini malah bikin Gaza lebih gelap. BERITA VOLI
Lonjakan Kekerasan Internal: Crackdown Hamas Pasca-Gencatan Senjata: Apakah Gencatan Senjata Pengaruhi Kasus Kejahatan di Gaza?
Sejak gencatan senjata Januari 2025, Hamas ambil kendali penuh di Gaza, tapi itu datang dengan harga tinggi: crackdown brutal terhadap rival dan diduga penjahat. Laporan Reuters 13 Oktober ungkap Hamas bunuh setidaknya 33 orang dalam operasi keamanan, termasuk eksekusi publik di Gaza City yang terekam video—pejuang bertopeng tembak tiga pria di depan umum atas tuduhan kolaborasi dengan Israel. Ini bagian dari upaya Hamas reassert otoritas setelah lemah akibat perang, tapi malah picu siklus kekerasan: bentrokan dengan kelompok Palestina lain tewaskan 20 orang lagi di Rafah.
Gencatan senjata seharusnya redakan tekanan, tapi absennya pengawasan ketat bikin vakum kekuasaan. Hamas klaim ini “pembersihan kejahatan”, tapi warga Gaza sebutnya teror internal—pencurian dan perampokan naik 15 persen karena polisi sipil lumpuh. CNN laporkan kekerasan faksi ini jadi norma baru, dengan 10 eksekusi di bulan September saja. Dampaknya? Masyarakat Gaza kian terisolasi, bantuan makanan terhambat karena distribusi dikuasai faksi bersenjata. Crackdown ini bukti gencatan senjata tak cukup; tanpa rekonsiliasi, kejahatan internal malah meledak.
Dampak Sosial: Kejahatan Umum dan Krisis Kemanusiaan yang Memburuk: Apakah Gencatan Senjata Pengaruhi Kasus Kejahatan di Gaza?
Gencatan senjata tak bawa kedamaian untuk warga biasa; malah, kejahatan umum seperti pencurian dan kekerasan domestik naik karena krisis ekonomi. Al Jazeera catat bantuan “kritikal rendah” di Gaza seminggu setelah kesepakatan, dengan 67.967 tewas total sejak Oktober 2023—tapi pasca-gencatan, kelaparan klaim 50 nyawa lagi. Kekurangan makanan picu perampokan truk bantuan, dengan 20 insiden dilaporkan di Khan Younis sejak Maret.
Kejahatan domestik juga melonjak: laporan PBB sebut kekerasan gender naik 30 persen di kamp pengungsi, karena stres dan kurangnya layanan polisi. Gencatan senjata janji 500 truk makanan harian, tapi blokade sporadis bikin distribusi kacau—penjahat manfaatkan kekosongan untuk rampok. RAND bilang ceasefire ini “interlude” sebelum perang lagi, tapi untuk warga Gaza, ia jadi periode kejahatan tak terkendali. Tanpa pengawasan internasional kuat, krisis kemanusiaan malah jadi lahan subur untuk kejahatan—pencurian senjata dari gudang IDF rusak tambah ancaman.
Respon Internasional: Tekanan Diplomatik dan Risiko Eskalasi
Dunia tak diam; PBB dan AS tekan kedua pihak untuk patuhi gencatan senjata, tapi tuduhan pelanggaran bikin mediasi Qatar dan Mesir mandek. Trump klarifikasi ancamannya untuk “bunuh” Hamas sebagai tekanan damai, tapi ICC lanjut kasus kejahatan perang Israel meski ceasefire—DW bilang proses ICJ/ICC tak terpengaruh. Sanksi AS potong bantuan Israel 3 miliar dolar jika tempur nyala, sementara Iran dukung Hamas dengan senjata via Lebanon.
Respon ini tunjukkan risiko eskalasi: jika gencatan gagal, perang bisa libatkan Hezbollah, tewaskan ribuan lagi. PBB tuntut audit independen soal kejahatan di Gaza, tapi Israel tolak, sebutnya “campur tangan”. Internasional ini beri harapan, tapi lambat—bantuan AS 10 miliar untuk rekonstruksi tergantung kesepakatan. Tanpa tekanan kuat, kejahatan Gaza bakal terus jadi korban damai yang gagal.
Kesimpulan
Gencatan senjata Gaza 2025 seharusnya bawa kedamaian, tapi malah picu kejahatan internal yang memburuk—dari crackdown Hamas hingga pencurian bantuan. Tuduhan pelanggaran saling lempar bikin situasi rapuh, sementara respon internasional lambat tapi tegas. Dengan 19 jenazah sandera tersisa, perdamaian ini butuh komitmen nyata, bukan kata-kata. Bagi Gaza, ceasefire bukan akhir konflik; ia awal tantangan baru. Dunia harus gerak cepat—atau kejahatan akan jadi norma baru di reruntuhan.