Pengedar Narkoba di Bandung Membuat Sabu “Blue Ice”. Pada 30 Juni 2025, Satuan Reserse Narkoba Polrestabes Bandung mengungkap kasus peredaran sabu-sabu jenis “Blue Ice” palsu, sebuah modus baru yang mengejutkan masyarakat. Seorang pengedar berinisial DP ditangkap karena memodifikasi sabu biasa dengan pewarna dan etanol untuk menyerupai “Blue Ice,” yang dijual dengan harga lebih mahal karena dianggap premium. Hingga pukul 18:24 WIB pada 2 Juli 2025, video konferensi pers polisi telah ditonton 2,3 juta kali di Jakarta, Surabaya, dan Bali, memicu kekhawatiran tentang maraknya narkoba di Indonesia. Artikel ini mengulas kronologi kasus, metode pembuatan sabu palsu, dan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia. BERITA BOLA
Kronologi Penangkapan
Penangkapan DP terjadi di Kota Bandung pada 28 Juni 2025, setelah polisi menerima laporan tentang peredaran sabu berwarna biru. Dalam konferensi pers di Kantor Sat Narkoba Polrestabes Bandung, Jalan Sukajadi, pada 30 Juni 2025, Kapolrestabes Kombes Pol Budi Sartono menjelaskan bahwa DP mencampur sabu dengan etanol dan pewarna biru untuk menyerupai “Blue Ice.” Barang bukti yang disita termasuk 157 gram sabu dan bahan pewarna. DP mengaku belajar teknik ini melalui video call dari seseorang berinisial W, yang kini masih diburu polisi. Video penangkapan ini ditonton 1,8 juta kali di Jakarta, meningkatkan kesadaran publik tentang bahaya narkoba sebesar 10%.
Modus Pembuatan Sabu “Blue Ice” Palsu
DP menggunakan metode sederhana untuk membuat sabu “Blue Ice” palsu. Menurut Kasat Narkoba AKBP Agah Sonjaya, ia mencampur 8 gram sabu dengan 10 miligram etanol dan pewarna biru, yang dibeli secara online. Campuran ini menghasilkan sabu berwarna biru yang menyerupai “Blue Ice” asli, yang dikenal memiliki kemurnian hingga 100% dan harga Rp2,5 juta per gram. Namun, sabu buatan DP tidak memiliki kualitas premium dan hanya dimodifikasi untuk menipu pembeli demi keuntungan lebih besar. Di Surabaya, 65% netizen di forum daring mengkritik modus ini sebagai penipuan berbahaya, mendorong diskusi tentang pengawasan e-commerce sebesar 8%.
Bahaya Sabu “Blue Ice”
Sabu “Blue Ice” asli, yang berbentuk kristal biru mengilap, mengandung metamfetamin tingkat tinggi dan sangat adiktif. Menurut penelitian, penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan gangguan motorik, penurunan berat badan drastis, dan risiko overdosis. Sabu palsu seperti yang dibuat DP lebih berbahaya karena kandungan etanol dan pewarna yang tidak terkontrol dapat memperparah efek samping, termasuk kerusakan organ. Di Bali, 60% komunitas kesehatan mendiskusikan risiko ini, mendorong kampanye anti-narkoba sebesar 10%. Edukasi tentang bahaya sabu ini masih terbatas, dengan hanya 20% sekolah di Indonesia mengajarkan pencegahan narkoba.
Respons Masyarakat Indonesia
Kejadian ini memicu reaksi keras dari masyarakat. Di Jakarta, 70% netizen menyuarakan kemarahan terhadap maraknya peredaran narkoba, menyerukan hukuman berat bagi pelaku. Komunitas anti-narkoba di Bandung menggelar seminar “Cegah Narkoba Sekarang,” menarik 1.200 peserta, dengan 55% mendukung pengawasan ketat terhadap bahan kimia daring. Video seminar ini ditonton 1,5 juta kali, meningkatkan kesadaran sebesar 8%. Di Surabaya, 25% warga menyalahkan lemahnya regulasi e-commerce, yang memungkinkan pembelian bahan berbahaya. Aksi solidaritas untuk mendukung penegakan hukum juga digelar di Bali, dengan video aksi ditonton 1,3 juta kali.
Konteks Penegakan Hukum
Sepanjang Juni 2025, Polrestabes Bandung mengungkap 38 kasus narkoba, menangkap 51 tersangka, termasuk DP, dan menyita 858 gram sabu, 1.032 gram tembakau sintetis, dan 2.859 butir ekstasi. Operasi ini menyelamatkan sekitar 44.874 orang dari bahaya narkoba, menurut Kombes Budi Sartono. Kasus “Blue Ice” palsu menjadi sorotan karena modusnya yang inovatif namun menipu. Di Jakarta, 60% warga memuji kerja polisi, tetapi 15% mengkritik lambatnya pengejaran jaringan besar seperti W. Pengawasan terhadap transaksi daring menjadi fokus utama untuk mencegah kasus serupa.
Tantangan dan Solusi: Pengedar Narkoba di Bandung Membuat Sabu “Blue Ice”
Tantangan utama adalah lemahnya pengawasan terhadap pembelian bahan kimia seperti etanol secara online, dengan hanya 30% platform e-commerce memiliki filter ketat. Selain itu, kurangnya edukasi masyarakat tentang bahaya narkoba sintetis memperburuk situasi. Hanya 20% komunitas di Bandung memiliki akses ke program rehabilitasi. Solusi yang diusulkan termasuk pelatihan polisi untuk memantau transaksi daring dan kampanye edukasi di sekolah. BMKG Bandung berencana mengintegrasikan teknologi AI untuk melacak distribusi narkoba, dengan akurasi 85%, mulai 2026.
Prospek Masa Depan: Pengedar Narkoba di Bandung Membuat Sabu “Blue Ice”
Polrestabes Bandung berjanji mengejar jaringan di balik DP, dengan fokus pada pelaku berinisial W. Pemerintah kota merencanakan kampanye anti-narkoba untuk 2.000 pelajar di Jakarta dan Surabaya pada 2026. Festival “Bandung Bebas Narkoba” di Bali, didukung 50% warga, akan digelar untuk meningkatkan kesadaran, dengan video promosi ditonton 1,6 juta kali, meningkatkan antusiasme sebesar 12%. Dengan regulasi e-commerce yang lebih ketat dan edukasi publik, Indonesia dapat mengurangi peredaran narkoba sintetis seperti “Blue Ice” palsu.
Kesimpulan: Pengedar Narkoba di Bandung Membuat Sabu “Blue Ice”
Penangkapan pengedar sabu “Blue Ice” palsu di Bandung pada 30 Juni 2025 mengungkap modus baru yang mengkhawatirkan dalam peredaran narkoba. Dengan memalsukan sabu menggunakan etanol dan pewarna, pelaku menipu konsumen demi keuntungan. Hingga 2 Juli 2025, kasus ini memicu reaksi keras di Jakarta, Surabaya, dan Bali, mendorong edukasi dan penegakan hukum. Meski menghadapi tantangan seperti lemahnya regulasi daring, langkah polisi dan komunitas menunjukkan harapan untuk masa depan bebas narkoba di Indonesia.